=)

Benvenuto Nel Mio Blog...
Mari berbagi ilmu, informasi, dan segala sesuatu yang bermanfaat tentunya.. =)

Jumat, 09 November 2012

Konsep dan Penanganan pada Pasien dengan Eating Disorder (Gangguan Makan)


A.      KONSEP DAN PENANGANAN PADA PASIEN DENGAN EATING DISORDER (GANGGUAN MAKAN)
Gangguan makan dapat digambarkan pada rentang individu anoreksia yang makan terganggu sedikit atau melaparkan diri, individu bulimia yang makan dengan cara yang sembarangan, dan individu gemuk yang makan terlalu banyak (White, 1991). Ada banyak trumpang-tindih diantara gangguan makan : 30%-35% individu dengan berat badan normal yang mengalami bulimia mempunyai riwayat anoreksia nervosa dan berat badan rendah.
Dalam satu diantara banyak negara, terdapat beberapa orang yang secara sengaja membuat diri mereka sendiri lapar dan terkadang sampai meniggal. Mereka terobsesi dengan berat badan dan bermaksud untuk mencapai citra tubuh yang terlalu kurus. Ada juga yang memiliki siklus dimana mereka makan banyak dan kemudian berkeinginan untuk menghilangkan kelebihan makan mereka, antara lain dengan memuntahkannya. Pola yang disfungsional ini adalah dua tipe utama dari gangguan makan, yaitu anoreksia nervosa (anorexia nervosa) dan bulimia nervosa. Gangguan makan (Eating disorder) memiliki karakteristik pola makan yang terganggu dan cara yang maladaptif dalam mengontrol berat badan. Seperti gangguan psikologis lainnya, anoreksia dan bulimia sering disertai dengan berbagai bentuk psikopatologi, termasuk depresi, gangguankecemasan dan gangguan penyalahgunaan zat.
Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa dahulu duduga jarang sekali terjadi, namun peningkatanya semakin terlihat di Amerika dan negara maju lainnya. Mayoritas kasus terjadi pada wanita, terutama wanita muda. Meskipun gangguan ini biasanya berkembang di masa dewasa ataupun dewasa akhir, gangguan ini mulainya muncul pada masa remaja dan dewasa awal ketika tuntutan untuk menjadi kurus sangat kuat (Beck, Casper, & Anderson, 1996). Seiring dengan meningkatnya tekanan sosial ini, makin meningkat pula tingkat gangguan makan. Kira-kira 0,5 % (1:200) wanita dilingkungan kita mengidap anoreksia nervosa (APA, 2000). Tingkat prevalensi penderita bulimia nervosa dikalangan wanita diperkirakan berkisar antara 1% dan 3% (APA, 2000).
1.    Anoreksia Nervosa
Anoreksia (Anorexia) berasal dari bahasa Yunani an, yang artinya “tanpa”, dan orexis artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memiliki arti “tidak mamiliki hasrat untuk makanan”, yang sesungguhnya keliru, karena kehilangan nafsu makan diantara penderita anoreksia nervosa jarang terjadi. Namun demikian, penderita mungkin menolak makan berlebih dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat badan minimal sesuai tinggi badan dan usia mereka. Sering terjadi, mereka melaparkan diri hingga mencapai suatu titik yang membahayakan. Anoreksia nervosa berkembang pada remaja awal dan akhir, antara usia 12 – 18 tahun, namun kemunculan pada usia yang lebih awal atau lebih tua juga terkadang ditemukan.
Walaupun anoreksia pada wanita jauh lebih umum terjadi dibandingkan pada pria, jumlah pria muda yang menunjukkan anoreksia makin bertambah. Banyak pria yang menekuni kegiatan olahraga, seperti gulat, mengalami tekanan untuk menjaga berat badan yang lebih rendah. Remaja putri dan wanita penderita anoreksia hampir selalu mengingkari bahwa berat badab mereka turun terlalu banyak. Mereka akan mengatakan bahwa kemampuan mereka untuk menghadapi latihan yang melelahkan menunjukkan kebugaran tubuh mereka. Wanita dengan gangguan makan sering kali melihat diri mereka lebih berat dibanding dengan wanita normal lain dengan berat badab yang sama (Horne, Van Vactor, & Emerson, 1991). Orang lain melihat mereka sebagai “kulit membalut tulang”, namun wanita anoreksia memiliki citra tubuh yang terdistorsi dan akan tetap melihat diri mereka terlalu gemuk. Meskipun mereka secara sengaja membuat diri mereka lapar, mereka akan menghabiskan hari-hari mereka dengan berpikir dan membicarakan makanan, dan bahkan mempersiapkan makanan untuk orang lain (Rock & Curran-Cellentano, 1996).
a.    Subtipe dari anoreksia
Ada dua subtipe umum dari anoreksia, yaitu tipe makan berlebihan/ membersihkan dan tipe menahan. Tipe pertama ditandai oleh episode yang sering makan berlebihan dan memuntahkannyaterjadi pada bilmia, individu penderita bulmia tidak mengurangi berat badan mereka sampai tingkat anoreksis. Perbedaan subtipe anoreksia didukung oleh perbedaan dalam pola kepribadian. Individu dengan tipe makan/ atau muntah cenderung memiliki masalah yang berhubungan dengan kontrol impuls, dimana peningkatan episode makan berlebihan mungkin melibatkan penyalahgunaan zat atau mencuri (Garner, 1993). Mereka cendrung untuk berganti-ganti antara periode kontrol yang kaku dan prilaku impulsif. Mereka yang memiliki tipe menahan cendrung secara kaku bahakn secara obsesif mengintrol diet dan penampilan mereka.
b.    Komplikasi medis dari anoreksia
Anoreksia dapat mengakibatkan komplikasi medis yang serius yang dalam kasus ekstrim dapat berakibat fatal. Berkurangnya berat tubuh sebesar 35% dapat menimbulkan anemia. Wanita yang menderita anoreksia biasanya juga memiliki masalah kulit seperti kulit kering, kulit pecah, rambut lepek, bahkan perubahan warna yang menjadi kekuningan akan muncul beberapa tahun setelah berat badan naik kembali. Komplikasi kardiovaskular melibatkan gangguan hati, hipotensi (tekanan darah rendah), dan dihubungkan dengan pusing saat berdiri, terkadang menyebabkan pingsan. Menurunnya proses pencernaan makanan dapat menyebabkan masalah gastrointestinal seperti konstipasi, sakit pada perut, dan obstruksi atau kelumpuhan dari bowel atau intestinal. Siklus menstruasi yang tidak teratur juga sering terjadi, dan amenorrea (tidak mengalami menstruasi) adalah bagian dari definisi klinis pada wanita penderita anoreksia. Otot yang melemah dan pertumbuhan yang tidak normal pada tulang dapat muncul, menyebabkan tinggi tubuh yang berkurang dan osteoporosis. Angka kematian dari anoreksia diperkirakan antara 5% sampai 8% selama periode 10 tahun, dengan kebanyakan kematian disebabkan oleh bunuh diri atau komplikasi medis yang dihubungkan dengan penurunan berat badan yang parah (Goleman, 1995).
2.    Bulimia Nervosa
Bulimia berasal dari bahasa Yunani bous, yang artinya “sapi” atau “kerbau” dan limos yang artinya “rasa lapar”. Gambaran tidak indah yang terinspirasi dari arti istilah tersebut adalah makan yang terus-menerus, seperti sapi yang memamah biak. Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang memiliki karakteristik episode yang berulang untuk menelan makanan dalam jumlah besar, diikuti dengan penggunaan cara-cara yang tidak tepat untuk mencegah pertambahan berat badan. Hal ini bisa melibatkan mengeluarkan makanan dengan memaksa diri untuk memuntahkannya; menggunakan obat pencahar, diuretik, atau enemas, berpuasa atau menjalankan latihan fisik yang berlebihan. Wanita dengan bulimia mungkin menggunakan dua atau tiga strategi untuk mengeluarkan misalnya dengan memuntahkan dan obat pencahar (Tobin, johnson, & Dennis, 1992). Meskipun penderita anoreksia berbadan sangat-sangat kurus, individu yang  menderita bulimia biasanya memiliki berat badan normal. Namun, mereka memiliki perhatian yang berlebihan mengenai bentuk tubuh dan berat badan.
Individu penderita bulimia biasanya mencolok tenggorokan mereka untuk menimbulkan perasaan ingin muntah. Kebanyakan berusaha untuk menutupi prilaku mereka. Ketakutan akan bertambahnya berat badan merupakan faktor yang konstan. Meskipun perhatian yang berlebihan terhadap bentuk tubuh dan berat badan adalah ciri yang utama dari bulimia dan anoreksia, individu yang menderita bulimia tidak mengejar berat badan yang sangat –sangat kurus seperti individu dengan anoreksia. Berat badan ideal mereka sama dengan wanita yang tidak memiliki gangguan makan.
Makan berlebihan biasanya muncul diam-diam, dan biasanya dirumah pada saat siang ataupun sore hari (Drewnowski, 1997; Guertin, 1999). Makan berlebihan biasanya berlangsung selama 30 sampai 60 menit dan ditujukan untuk mengonsumsi makanan yang seharusnya dihindari seperti makanan yang manis dan kaya akan lemak. Penderita biasanya merasa kurang dapat mengontrol kebiasaan makan berlebihan dan dapat mengonsumsi 5000 sampai 10000 kalori sekaligus. Seorang wanita muda menjelaskan nahwa ia memakan segala yang tersedia di dalam lemari es, bahkan sampai menghabiskan mentega dari tempatnya dengan menggunakan jari. Episode perlanjut sampai ia kelelahan atau merasakan sakit perut yang menyakitkan, ingin muntah, atau kehabisan makanan. Rasa mengantuk, bersalah, depresi, biasanya ikut menyertai tetapi makan berlebihan dirasakan menyenangkan karena melepaskan diri dari aturan diet.
Usia rata-rata  dari terjadinya bulimia adalah remaja akhir, ketika tekanan tentang diet dan ketidakpuasan bentuk tubuh atau berat badan berada pada puncaknya. Bulimia nervosa biasanya mempengaruhu wanita kulit putih (non Hispanik) pada tahap remaja akhir atau dewasa awal (APA, 2000). Walaupun tersebar keyakinan bahwa gangguan makan, terutama anoreksia nervosa, lebih umum terjadi diantara orang-orang berada, bukti-bukti menunjukkan tidak ada hubungan yang kuat antara status sosial ekonomi dan gangguan makan (Wakeling, 1996). Pendapat bahwa gangguan makan berhubungan dengan status sosial ekonomi tinggi mungkin menunjukkan kecendrungan pada pasien-pasien yang berada untuk mendapatkan perawatan. Pada kenyataanya, tekanan sosial pada wanita muda dalam usaha untuk mencapai tubuh ideal yang sangat kurus terdapat pada golongan status sosial ekonomi manapun.
a.    Komplikasi medis dari Bulimia
Bulimia juga berhubungan dengan banyak komplikasi medis. Kebanyakan disebabkan karena muntah yang terus-menerus. Dampak yang mungkin terjadi adalah iritasi pada kulit sekitar mulut disebabkan karena seringnya kontak dengan asam lambung, terhambatnya air liur, peluruhan enemal gigi, dan karang gigi. Asam yang timbul dari muntah, dapat merusak reseptor rasa pada lidah, membuat orang menjadi kurang sensitif terhadap rasa dari makanan yang dimuntahkan (Rodin dkk, 1990). Penurunan sensifitas terhadap rasa yang tidak enak dari makanan yang dikeluarkan dapat berperan dalam mempertahankan prilaku memuntahkan. Siklus makan banyak dan memuntahkannya dapat menyebabkan sakit pada perut, hiatal hernia, dan keluhan perut lainnya. Tekanan pada pankreas dapat menghasilkan pankreatitis (rasa panas), yang merupakan situasi darurat medis. Gangguan fungsi menstruasi juga ditemukan pada 50% wanita penderita bulimia yang memiliki berat badan normal (Weltzin dkk, 1994). Penggunaan obat pencahar yang berlebihan dapat menyebabkan diare berdarah dan ketergantungan pada obat pencahar, sehingga individu tidak dapat melakukan fungsi pencernaan yang normal tanpa bantuan obat pencahar. Pada kasus ekstrem, organ-organ pencernaan akan kehilangan respon refleknya untuk menekan zat-zat sisa. Memakan makanan asin dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kejang-kejang dan pembengkakan. Muntah yang berulang atau penyalahgunaan obat pencahar dapat menyebabkan kekurangan potasium, membuat obat-obat melemah, fungsi jantung tidak normal, atau bahkan kematian mendadak ketiksa diuretik juga digunakan. Dan seperti pada anoreksia, menstruasi juga dapat berhenti.
 
1.    Penanganan Anoreksia Nervosa dan Bulimia
a.    Terapi Anoreksia
Klien anoreksia nervosa dapat sangat sulit diterapi karena mereka sering kali menentang terapi dan tampak tidak tertarik dengan terapi yang disebabkan oleh penyangkalan mereka bahwa ada masalah. Tempat terapi meliputi unit khusus rawat inap gangguan makan, program hospitalisasi persial atau program terapi sehari, dan terapi rawat jalan. Pilihan tempat terapi bergantung pada keparahan penyakit, seperti berat badan, gejala fisik, lamanya perilaku makan berlebihan dan pengurusan, dorongan untuk langsing, ketidakpuasan terhadap tubuh dan adanya kondisi psikiatri komorbid (White & Litovitz, 1998). Komplikasi utama yang mengancam jiwa dan menunjukkan kebutuhan untuk masuk rumah sakit adalah ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan metabolik yang berat, komplikasi kardiovaskular, penurunan berat badan yang parah dan akibatnya (Patel et all, 1998), dan beresiko bunuh diri. Terapi rawat jalan berhasil dengan baik pada klien yang sakit selama kurang dari 6 bulan, tidak makan berlebihan dan melakukan pengurusan, serta mempunyai orang tua yang mungkin berpartisipasi secara efektif dalam terapi keluarga (Helmi, 2000).
1)   Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis berfokus pada perbaikan berat badan, rehabilitas nutrisi, rehidrasi, dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit. Klien diberi makanan dan kudapan dengan gizi seimbang, secara bertahap ditingkatkan asupan kalorinya sampai tidak normal yang sesuai dengan ukuran tubuh, usia dan aktifitasnya. Klien yang mengalami malnutrisi berat mungkin memerlukan nutrisi parenteral total, pemberian makan melalui selang, hiperalimentasi untuk memberikan asupan nutrisi yang adekuat. Akses klien ke kamar mandi biasanya diawasi untuk mencegah prilaku pengurasan saat klien mulai makan lebih banyak. Penambahan berat badan dan asupan makan yang adekuat paling sering menjadi kriteria untuk menentukan keefektifan terapi.
2)   Psikofarmakologi
Beberapa kelas obat-obatan telah diteliti, tetapi sedikit yang menunjukkan keberhasilan secara klinis. Amitriktilin (elafil) dan siproheptadine antihistamin (periactin) dalam dosis tinggi (sampai 28 mg/hari) dapat meningkatkan penambahan berat badan pada pasien rawat inap dengan anoreksia nervosa (helmi, 2000; petterson & michael, 1999). Fluoksetin (frozac) menunjukkan beberapa keefektifan dalam mencegah relaps pada klien yang berat badannya telah pulih sebagian atau pulih total (petterson & michael, 1999). Pemantauan yang ketat dibutuhkan karena penurunan berat badan dapat menjadi efek samping fluoksetin.
3)   Psikoterapi
Terapi keluarga dapat bermanfaat bagi keluarga dari klien yang berusia kurang dari 18 tahun. Keluarga yang menunjukkan enmeshment, batasan yang tidak jelas diantara anggota keluarga dan kesulitan mengatasi emosi dan konflik, dapat dimulai menyelesaikan masalah tersebut dan meningkatkan komunikasi dalm keluarga. Terapi keluarga juga berguna untuk membantu anggota keluarga menjadi partisipan yang efektif dalam terapi klien. Studi menunjukkan dalam keluarga yang disfungsional dapat memerlukjan weaktu dua tahun untuk menunjukkan perbiakan fungsi (gowers dan north, 1999; North et al, 1997)
Terapi individual untuk klien anoreksia nervosa dapat diindikasikan pada beberpa keadaan, seperti jika keluarga tidak dapat berpartisipasi dalam terapi keluarga, jika klien lebih tua atau berpisah dari keluarga inti, atau jika klien mempunyai masalah individual yang membutuhkan psikoterapi. McIntosh et al. (2000) melaporkan bahwa fungsi interperasonal dapat diperbaiki dan gejala dikurangi dengan terapi yang berfokus kepada masalah berduka, perselisihan interpersonal, defisit interpersonal, dan transisi berat.
b.    Terapi Bulimia
Sebagian besar klien bulimia diterapi rawat jalan. Masuk rumah sakit akan diindikasikan jika perilaku makan berlebihan dan pengurasan tudak terkontrol dan status medis klien memburuk. Sebagian besar klien bulimia mempunyai berat badan yang mendekati normal sehungga mengurangi perhatian tentang malnutrisi berat (yang merupakan satu faktor pada klien anoreksia nervosa).
1)   Terapi Kognitif Perilaku
Terapi kognitif perilaku ditemukan sebagai terapi yang paling efektif bagi bulimia (Helmi, 2000). Pendekatan rawat jalan ini sering kali menggunakan manual yang terperinci untuk memandu terapi. Strategi yang dirancang untuk mengubah pemikiran klien atau kognisi dan tindakan (prilaku) tentang makanan yang berfokus pada tindakan menghentikan siklus diet, amakan berlebihan, dan pengurasan serta mengubah pemikiran dan keyakinan disfungsional klien tentang berat badan, citra tubuh dan seluruh konsep diri (Helmi, 2000). Kombinasi terapi kognitif perilaku dengan psikoedukasi yang menggunakan format individu maupun kelompok terbukti efektif dalam hal hasil, biaya, dan kepuasan klien (White, 1999). Agras et al (2000) menemukan bahwa terapi kognitif perilaku menghasilkan perbaikan yang lebih cepat pada klien bulimia daripada psikoterapi interpersonal.
2)   Psikofarmakologi
Sejak tahun 1980-an beberapa studi yang terkontrol dilakukan untuk mengevaluasi kefektifan antidepresan untuk mengobati bulimia. Obat-obatan seperti desipramin (norpramin), imipramin (tofranel), amitriptilin (elafil), nortriptilin (pamelor), fenelzin (nardil), dan fluoksetin (frozak) diresepkan dengan dosis yang sama dengan yang biasa digunakan untuk mengobati depresi. Pada semua studi antidepresan lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi makan yang berlebihan. Obat juga memperbaiki mood dan mengurangi preokupasi dengan bentuk dan berat badan (Helmi, 2000; Petterson & Michael, 1999). Akan tetapi hanya 22%-25% klien yang mengalami abstinense total dari makan yang berlebihan dan pengurusan diakhir terapi (Agras, 1997; Helmi, 2000).

Videbeck, Sheila. L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Jeffrey S. N. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
Stuart, G.W & Laraia, MT. (2005). Principles and  Practice of Psychiatric Nursing 8th Edition. St. Louis: Mosby.

Mekanisme Penanganan Nyeri dengan Menggunakan Terapi Musik


A.      MEKANISME PENANGANAN NYERI DENGAN MENGGUNAKAN TERAPI MUSIK
Bermain musik adalah kegiatan yang penting disemua kebudayaan dan masyarakat, sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan berkomunikasi. Hampir semua orang bisa merasakan dampak yang kuat dari musik. Musik bisa merangsang timbulnya perasaan gairah, damai, sedih ataupun gembira. Terapi musik terdiri dari kegiatan mencipta dan mengolah musik, menggunakan berbagai instrument dan suara manusia, sebagai cara untuk membantu seorang pasien mengkomunikasikan perasaan dan pemikiran mereka yang terdalam, maupun gejala-gejala yang lain.
Terapi musik bisa membantu penderita mengatasi berbagai keluhan dan gangguan, terutama gangguan intelektual dan kesulitan belajar. Namun, mereka yang memiliki gangguan atau cacat fisik juga bisa memperoleh manfaat, terutama mereka yang perlu meningkatkan kemampuan nafas, aqtau ingin meningkatkan rentang kemampuan geraknya sepertinpasien stroke yang menderita kelumpuhan. Sesinterapi musikn akan dipimpin oleh seorang terapi yang terlatih, yang memiliki kualifikasi dalam bidang musik. Layanan ini biasanya bisa diperoleh di rumah sakit yang besar. Banyak terapis musik yang mengajar di rumah-rumah ataupun disekolah umum, dan permintaan seperti ini jauh melebihi tenaga yang tersedia. Pendekatan yang dilakukan tergantung pada masalah pasien. Jika pasien adalah seorang anak yang intelektualnya mangalami gangguan dan sulit atau tidak bisa berbicara, biasanya terapis akan membangun relasi dengan menggunakan pelbagi instrument, suara-suara vocal yang dhasilkannya bersama  si pasien, dan pengalaman berbagi dalam menciptakan musik. Dengan pasien yang cacat fisik atau memiliki masalah psikologis atau kejiwaan, ia menggunakan pendekatan yang lain lagi.
Pada dasarnya, setiap orang akan bereaksi dalam satu dan lain cara, dengan mengamati pengalaman bermusik. Karena itu terapi musik biasanya membawa manfaat bagi setiap orang termasuk penderita stroke, walaupun sebelumnya tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, ataupun pengalaman bermusik.
Mendengar musik tidak hanya meningkatkan intelegensi, namun juga membantu penyembuhan penyakit.
Dr. Raynond Bahr, pemimpin lembaga jantung di rumah sakit St. Agnes, Baltimore, amerika, mengemukakan bahwa setengah jam mendengar musik klasik memiliki efek psikis yang sama dengan minum 10 miligram valiu. Kedengarannya memang dramatis. Namuan yang penting adalah pengakuannya bahwa musik klasik bisa menenangkan kondisi psikis seseorang.
Di Edmonton, Canada, musik dari string quartet Mozart membuat prilaku pejalan kaki menjadi lebih tenang. Dan, sejak musik klasik depergunakan deberbagai rumah sakit ataupun diruang prakti didokter disana. Penggunaannya yang populer, antara lain adalah untuk membuat proses persalinan atau operasi.
Menurut Mc Caffrey musik dapat menciptakan suasana nyaman pada situasi yang tidak nyaman seperti nyeri post operasi. Mc Caffrey telah melakukan penelitian tentang terapi musik untuk penurunan nyeri pada osteoartritis, dia mendapatkan hasil bahwa pasien yang diberi terapi musik selama 20 menit merasakan nyerinya berkurang sebanyak 33% (Jerrad, 2004). Nilson, dkk (2003) menemukan bahwa terapi musik pada intra operasi dan post operasi dapat menurunkan nyeri. Mereka menyimpulkan bahwa musik mempunyai efek langsung jangka pendek dalam menurunkan nyeri.
Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Oleh membrana timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik dan mengungkit, energi bunyi diperbesar menjadi 25–30 kali (rata-rata 27 kali) untuk menggerakkan medium cair perilimf dan endolimf. Setelah itu getaran diteruskan hingga organ korti dalam kokhlea dimana getaran akan diubah dari sistem konduksi ke sistim saraf melalui nervus auditorius (N. VIII) sebagai impuls elektris. Impuls elektris musik masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis Corti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medulla. Pada titik ini semua sinap serabut dan neuron tingkat dua diteruskan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior.
Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Setelah itu impuls berjalan ke nukleus genikulata medial, tempat semua serabut bersinap, dan akhirnya berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis. Dari korteks auditorius yang terdapat pada korteks serebri area, jaras berlanjut ke sistem limbik, melalui cincin korteks serebral yang disebut korteks limbik. Korteks yang mengelilingi struktur subkortikal limbik ini berfungsi sebagai zona transisional yang dilewati sinyal yang dijalarkan dari sisi korteks ke dalam sistem limbik dan juga ke arah yang berlawanan.
Dari korteks limbik,  jaras pendengaran dilanjutkan ke hipokampus, tempat salah satu ujung hipokampus berbatasan dengan nuklei amigdaloid. Amigdala yang merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat bawah sadar, menerima sinyal dari korteks limbik lalu menjalarkannya ke hipotalamus. Di hipotalamus yang merupakan pengaturan sebagian fungsi vegetatif dan fungsi endokrin tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional, jaras pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls menuju serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua sistem saraf yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Kedua sistem saraf ini mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ.
Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran sehingga timbul ketenangan. Sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul, midbrain akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin, beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang akan mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi sensorik somatik otak.
Musik dapat merangsang otak menghasilkan gelombang alpha yang dapat memacu pelepasan β-endorphin dan serotonin yang memiliki peranan dalam sistem analgesia. β-endorphin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioid μ. Reseptor opioid berikatan dengan protein G, yaitu protein yang terdapat pada permukaan sitoplasmik membran plasma. Protein G diaktivasi oleh peningkatan cAMP (cyclic adenosine monophosphate), ion Ca2+ (kalsium), atau fosfoinositid. Ikatan antara reseptor opioid dengan protein G, khususnya protein Gi, menyebabkan penurunan enzim adenilat siklase, yaitu enzim yang mengubah ATP (adenosine triphosphate) menjadi cAMP, sehingga terjadi penurunan cAMP. Penurunan cAMP menyebabkan berkurangnya permeabilitas membran terhadap ion-ion.  Opioid, termasuk β-endorphin, memiliki efek langsung terhadap neuron, yaitu : (1) menutup gerbang Ca2+ pada ujung saraf presinaptik, sehingga influks Ca2+ berkurang, dengan demikian mengurangi pelepasan transmiter nyeri seperti glutamat, asetilkolin, norepinefrin, dan substansi P ; dan (2) menyebabkan hiperpolarisasi pada neuron, sehingga menghambat neuron postsinaptik dengan membuka gerbang ion K+ (kalium), menyebabkan influks K+. Reseptor μ, δ, dan κ mengurangi pelepasan transmiter dari ujung presinaps, sedangkan reseptor μ juga menyebabkan hiperpolarisasi pada ujung postsinaps.
Pada sebagian besar area SSP, serotonin memiliki aksi inhibisi yang kuat, terutama melalui reseptor 5-HT1. Ikatan antara reseptor 5-HT1 dengan protein Gi menyebabkan penurunan cAMP, selain itu terjadi hiperpolarisasi akibat peningkatan ion K+. Pelepasan serotonin pada permukaan terminal presinaptik sensorik juga menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis menyekresi enkephalin. Enkephalin dapat menimbulkan hambatan presinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan tipe Aδ di mana mereka bersinaps di cornu dorsalis medulla spinalis. Serabut ini mencapai inhibisi presinaptik dengan mengurangi konsentrasi Ca2+ intraseluler dalam membran ujung saraf. Penghambatan Ca2+ akan menghasilkan inhibisi presinaptik, karena ion Ca2+ lah yang menyebabkan pelepasan transmiter pada sinaps.
Terapi musik merupakan jenis terapi psikofisika. Artinya, berdampak langsung pada psikis maupun fisik, dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain. Sebab, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan. Dan, musik sudah sejak lama dianggap sebagai perangkat misterius yang dapat menyeimbangkan kerjasama antara tubuh dan jiwa.
Dalam pelaksanaannyan, terapi psikofisika terbagi atas penekanan aktif dan pasif. Dengan pendekatan aktif, pasien yang mendapatkan terapi, secara aktif  berpartisipasi. Contohnya, saat diperdengarkan musik pasien ikut bernyanyi, bertepuk tangan, hingga mengikuti irama melalui gerak motorik seperti menari.
Dalam pendekatan pasif, pasien lebih banyak berperan sebagi pendengar. Walau sebenarnya, yang tampak pasif  hanya motoriknya saja. Sementara aktifitas mentalnya tetap berjalan aktif. Karena sebagai pendengar, pasien juga menciptakan imajinasi-imajinasi. Dalam pendekatan pasif ini, terapis adakalanya memberikan pencerahan untuk mengimajinasikan suatu hal tertentu (guided imagery), atau memberikan kebebasan pada pasien, untuk mengikuti alur imajinasinyan sendiri (freeflow imagery), atau memberikan kebebasan pada pasien, untuk mengikuti alur imajinasinyan sendiri (freeflow imagery).

Hidayati, Sri Nur. 2005. Terapi Alternatif dan Gaya Hidup Sehat. Pradipta Publishing: Yogyakarta